Minggu, 20 Januari 2019

Antara Sibling Goals dan Manajemen Konflik


Suatu kali pernah seorang emak terheran-heran melihat saya selow saja melihat dua anak saya bertengkar.

Saya bilang, “Nggak apa-apa, Mak. Sebelum bertengkar dengan orang lain.”

Mendengar jawaban saya, Si Emak makin terperanjat.

“Jangan sampai, dong!” ujarnya sewot.

“Nah justru karena ‘jangan sampai’, makanya anak saya mesti tahu dulu bagaimana rasanya bertengkar. Lebih baik bertengkar dengan saudara sendiri, urusannya lebih gampang. Nah, kalau sudah tahu tidak enaknya bertengkar, ke depannya dia akan berusaha menghindari pertengkaran. Lagi pula saya tidak mendiamkan kok, Mak. Saya pantau dan saya biarkan dulu sejauh tidak membahayakan. Saya tahu kapan harus menengahi dan kapan harus memberi nasihat,” jelas saya.

Si Emak itu diam entah mengerti atau tidak hehe...


via GIPHY

Saat ini, anak-anak yang saya ceritakan tadi sudah pada besar. Saya perhatikan sekarang, pada saat mereka berbeda pendapat, saya sering melihat setelah satu sama lain saling beradu argumentasi, akhirnya salah seorang dari mereka terdiam. Entah karena mengalah akibat faktor kedewasaan mereka. Atau memang argumentasinya kalah telak oleh saudaranya. 

Saya akui, soal berargumentasi, anak-anak saya tuh lebih jago dari saya. Kecepatan berpikir mereka sangat cepat. Namun jika argumentasi mereka memang salah, ibu tetap menang kok haha...

Bagi saya, proses bertengkar anak itu merupakan salah satu latihan kecerdasan sosial. Dengan bertengkar anak-anak belajar bahwa selain keinginan dirinya, ada juga keinginan orang lain. Kemudian belajar mempertahanan argumentasinya, belajar mengalah, belajar tenggang rasa, belajar gesture orang lain, dan masih banyak lagi.

Saya sebagai orang tua tinggal mengolah dan mengelola bahan-bahan ajar yang telah anak-anak dapatkan dari hasil “praktek” mereka atau saya sebut manajemen konflik

Stop Bicara Pada Saat yang Tepat


Satu hal yang saya pegang saat beradu argumentasi dan jika argumentasi saya menang adalah berhenti bicara. Tidak terus mengemukakan argumentasi yang lain apalagi sampai menjatuhkan harga diri orang yang salah. Ya buat apa menyudutkan orang lain jika sama-sama sudah tahu kalau argumentasi kita benar dan argumentasi dia salah.

Saya melihat itu pada diri anak-anak. Mereka berargumen dengan tetap menghargai saudaranya. Kecuali nih... kecuali ada yang ngeyel. Dan itu paling terjadi pada adik yang lebih muda, yang ego-nya sedang tumbuh-tumbuhnya. Ngeyelnya ke kakak-kakaknya. Itu membuat kakak-kakak yang selama ini menerapkan konsep saling menghargai jadi merasa berang. Dari situ biasanya keluarlah ungkapan pedas kakak hingga kontak fisik ringan.

Kalau yang sesama usia SMA ke atas sih tidak. Ya itu paling cekcok sedikit, setelah itu salah satu terdiam.

Kalau pun ada yang masih mengganjal, mereka lebih memilih ngadu diam-diam ke saya. Saya senang, fokus mereka pada penyelesaian masalah. Bukan pada menjatuhkan orang lain.

Ya dong, sama anak atau saudara sendiri. Masa sih menyakiti hatinya. Tujuan kita kan supaya dia tahu akan kesalahannya. Kalau bisa sadar dengan cara yang baik, kenapa tidak?

Tempat yang Tepat


Saya dan anak pernah beradu argumentasi lewat chat. Dan itu sama sekali bukan tempat yang baik untuk menyelesaikan masalah. Saya memilih stop chat. Saat bertemu muka, saya traktir dia ramen, barulah di situ kita ngobrol.

Anak-anak saya bilang, orang yang suka berantem di chat itu spammer. Dan mereka paling benci hal itu.

Sense of Humor


Sebetulnya saya jarang sekali melihat anak-anak yang sudah besar bertengkar dalam situasi tidak nyaman. Protes atau argumentasi yang mereka sampaikan malah membuat kita tertawa-tawa. Atau yang diprotes tidak terpancing emosi sedikitpun, santai abis. Dan itu malah membuat yang tadinya marah sudah memuncak jadi lebih melunak.

Contoh:


Uni: (protes) Aku gak suka kamu begini...begitu...

Kakak: 🎶 Apa salah dan dosaku sayaang... 🎶 (lagu Jaran Goyang, Nella Kharisma)


via GIPHY

Ibu: Aa, kenapa bawa-bawa guling?

Aa: Mau pukul Teteh. Mau qisos. Bismillah, Allahhu akbar! (sambil mukulin guling ke Teteh)


via GIPHY

Saya bersyukur hubungan di antara keenam anak saya boleh dibilang akur dan kompak. Kalau ada perpedaan-perbedaan sedikit itu kan wajar saja. Yang penting bagaimana mereka bisa mengelola konfliknya dengan tepat.

3 komentar:

  1. Hihihi dialog yang terakhir lucu banget.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makanya Mba, saya tuh ketawa-ketawa aja kalau anak sudah kumpul tuh 😂

      Hapus
  2. Bertengkar merupakan salah satu latihan kecerdasan sosial..harus saya catat nih, Mbak. Anak-anak saya masih 3,5 tahun dan baru 8 tahun. Subhanallah kalau ribut asyik banget sampai puyeng emaknya...hihi. Semoga ketika sudah besar mereka bisa lebih dewasa lagi..sy pikir bertengkar juga adalah sesuatu yang wajar untuk usia mereka..

    BalasHapus